Minggu, 06 November 2011

Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Suatu Catatan Pembangunan Bangsa


Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.  Negara ini memiliki garis pantai terpanjang keempat serta memiliki ribuan pulau yang menurut data survey terbaru mencapai sekitar 13.000 pulau.  Wilayah Indonesia terbentang dari bumi Papua sampai daratan Sabang yang terpisahkan oleh bentangan lautan yang luas. Indonesia juga termasuk negara terpadat ketiga jumlah penduduknya.
Kondisi geografis dan demografi tersebut merupakan potensi yang sangat luar biasa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat, maju, sejahtera dan mandiri.  Kenekaragaman hayati, pluralitas penduduk, pesona alam, sumber daya manusia dan tingginya nilai-nilai budaya adalah potensi pembangunan yang strategis.
Sebaliknya, kondisi Indonesia ini pula bisa menjadi kendala dan tantangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pembangunan.  Perbedaan agama, suku bangsa, bahasa, adat dan budaya, tingkat pendidikan, tentu saja adalah hal yang sangat mempengaruhi para elit kekuasaan untuk mengambil keputusan.
Pluralitas masyarakat Indonesia juga merupakan fakta obyektif yang harus mendapat perhatian dan penanganan yang komprehensif. Faktor traumatic kolonialisme ratusan tahun yang mengakibatkan penderitaan serta keterbelakangan sendi kehidupan berbangsa bernegara harus menjadi focus sasaran pembangunan ekonomi bangsa.
Sejarah telah mencatat perjalanan bangsa ini dalam membangun dirinya. Mulai dari awal kemerdekaan, orde lama, orde baru serta masa reformasi.  Penerapan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi oleh para pemangku kekuasaan sangat dipengaruhi situasi politik masing-masing orde serta kepentingan suatu rezim.  Hal ini memang merupakan keniscayaan dan yang terpenting adalah bagaimanapun situasinya, siapapun rezimnya serta apapun kepentingannya, sejatinya kebijakan pembangunan adalah untuk mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan berkemakmuran.
Upaya pencapaian masyarakat yang adil, sejahtera dan berkemakmuran harus sesuai konsesus yang telah diamanatkan  para pendiri bangsa ini yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan  melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bagaimana kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ? setelah merdeka lebih dari setengah abad dan telah melalui pergantian rezim, apa yang telah rakyat dapatkan ?  Rezim-rezim tersebut telah melakukan apa untuk rakyat ?  Untuk menjawab masalah-masalah ini haruslah secara obyektif memaparkan kebijakan-kebijakan penting pembangunan ekonomi  bangsa ini sebagai catatan perjalanan bangsa dalam usahanya membangun negeri tercinta ini.

Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Situasi politik awal kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan.  Pada awal kemerdekaan, pemerintah masih terfokus pada “pencarian identitas” bangsa. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, pelaksanaannya masih setengah-setengah.  Pada masa ini praktek sistem politik dalam bernegara adalah menganut cara parlementer yang tentu saja berlawanan dengan konsep UUD 1945 yaitu presidensiil. 
Kondisi tersebut juga berpengaruh terhadap pola pembangunan dan ekonomi keuangan bangsa.  Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh  :
  1. Inflasi yang tinggi (high inflation)
Situasi saat itu adanya peredaran mata uang lebih dari satu secara tidak terkendali. Pemerintah RI menyatakan ada tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Oleh Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) pada tanggal 6 Maret 1946 mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pemerintah RI pada bulan Oktober 1946, juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Peredaran uang yang tidak terkendali inilah sebagai pemicu laju inflasi semakin tinggi sehingga tak terbendung lagi.  Sesuai teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar di masyarakat mempengaruhi kenaikan tingkat harga sehingga menimbulkan inflasi.
  1. Belanda sejak bulan November 1945 melakukan blockade ekonomi Indonesia sehingga perdagangan luar negeri RI tertutup.
  2. Kas negara kosong.
  3. Adanya eksploitasi dimasa penjajahan terhadap sumber daya alam nusantara.
Dalam situasi yang serba kurang itu, pemerintah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan ekonomi.  Kebijakan-kebijakan pemerintah waktu itu antara lain adalah :
  1. Pada bulan Juli 1946, Menteri Keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP mengeluarkan kebijakan Program Pinjaman Nasional.
  2. Sebagau usaha membuka blockade ekonomi, pemerintah melakukan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
  3. Menyelengarakan Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
  4. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
  5. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
  6. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan sesuai Mazhab Fisiokrat, bahwa sektor pertanian merupakan sumber kekayaan.

Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
Masa antara tahun 1950 s/d 1959 disebut sebagai Masa Liberal, karena dalam kehidupan politik menggunakan prinsip-prinsip liberal yang memberikan ruang lebih terbuka bagi parlemen dan partaipolitik.  Kondisi ini pun mempengaruhi sistem ekonominya yaitu Ekonomi Liberal yaitu bahwa tatanan perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer.
Perkembangannya, sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka karena pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Kebijakan penting untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa ini, antara lain :
  1. Sanering, yaitu kebijakan pemotongan nilai uang sehingga diharapkan bisa, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga bisa turun.  Kebijakan ini pada 20 Maret 1950 oleh  Syarifuddin.
  2. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dan  membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
  3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.  Pada 15 Desember 1951 lewat UU No. 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
  4. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.  Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
  5. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.  Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Politik yang serba tidak menentu pada masa liberal, memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.  Keluarnya dekrit ini maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin  sehingga menyebabkan struktur ekonomi Indonesia cenderung menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
Sistem ini membawa harapan akan membawa kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik dan ekonomi sesuai Mazhab Sosialisme. Pada prakteknya, kebijakan-kebijakan ekonomi oleh pemerintah dimasa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.  Kebijakan-kebijakan penting masa ini antara lain :
  1. Devaluasi, menurunkan nilai uang.  Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan pembekuan simpanan di bank yang melebihi 25.000. Kebijakan ini diumumkan pada 25 Agustus 1959.
  2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis dengan cara terpimpin. Pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik (inflasi) 400%.
  3. Pada 13 Desember 1965 pemerintah melakukan devaluasi, yaitu menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1, sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan  kebijakan moneter itu semakin kacau karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran.  Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Ini juga sebagai konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.

Orde Baru
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada prakteknya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN tanpa ada kesulitan.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar, yaitu  laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.  Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro tetapi lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi, misalnya masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidak realistis dan tidak sesuai kenyataan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran.  Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang.  Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang.  Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata.  Tetapi  dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri.  Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

Masa Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan Presiden BJ. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.  Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
  1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
  2. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
    Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

Oleh :  Winardi Jadmiko

Sumber Referensi :
Nazaruddin Syamsudin, 1995, “Politik di Indonesia” dalam Carlton Clymer Rodee, dkk. “Pengantar Ilmu Politik” (terjemah), PT. RajaGrafindo Persada ; Jakarta utara
http://yunaniabiyoso.blogspot.com/2008/04/perbedaan-determinasi-kebijakan.html
http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/
http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jalan.pdf
Aulia Pohan, 2008, “Potret Kebijakan Moneter Indonesia”  Rajawali pers : Jakarta
Yustika, Ahmad Erani, 2002, “Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Jakarta”,  PT. Grasindo ; Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar