Kamis, 22 Desember 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


EMPOWERMENT dalam bahasa Indonesia berarti PEMBERDAYAAN adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat terutama Eropa. Untuk memahami konsep empowerment secara tepat dan jernih memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep tersebut telah begitu meluas diterima dan dipergunakan, mungkin dengan pengertian dan persepsi yang berbeda satu dengan yang lain. Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara kritikal tentunya meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar.
Konsep Empowerment mulai nampak pada dekade 70-an dan berkembang sepanjang tahun 80-an sampai 90-an. Konsep ini muncul bersamaan dengan aliran eksistensialisme, fenomenologi, personalisme dan kemudian lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, Freudianisme, aliran-aliran seperti strukturalisme dan sosiologi kritik sekolah Frankfurt serta konsep seperti elit, kekuasaan, anti-establishment, gerakan populis, anti-struktur, legitimasi, idiologi, pembebasan dan konsep civil society. Konsep Empowerment dipandang sebagai bagian atau sejiwa dengan aliran-aliran paruh kedua abad 20 yang banyak dikenal sebagai aliran Posmodernisme dengan titik berat sikap dan orientasinya adalah anti sistem, anti struktur dan anti determinisme. Maka untuk memahaminya perlu menggali akar terdalam dari aliran tersebut yaitu gelombang pemikiran baru (aufklarung) ataupun enlightenment.
Memahami gerakan pemikiran baru tersebut akan sejalan dengan menelaah lahirnya Eropa Modern sebagai reaksi terhadap pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya (abad pertengahan) Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial
Konsep ini mencerminkan paradigma pembangunan yang bersifat:
People Centered
Participatory
Empowering and
Sustainable (Chambers, 1995)
Oleh Friedman (1992), konsep ini disebut “Development”, yang menghendaki : Inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and inter generational equality. Pemberdayaan adalah upaya untuk mengembangkan potensi dan daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Misal : menawarkan nilai-nilai budaya, seperti: kerja keras, hemat, keterbukaan dan tanggungjawab (Bagian pokok dari upaya pemberdayaan)
PENGERTIAN DAN INDIKATOR PEMBERDAYAAN
1.  Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995:56).
2.  Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987:xiii).
3.  Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984:3).
4. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106).
5. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barangbarang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang disebut empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):
1.  Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2.  Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
3.  Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indicator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4.  Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
5.  Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anakanak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7.  Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8.  Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.
Dimensi Pemberdayaan
Kieffer (1981) mengemukakan tiga dimensi pemberdayaan. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Kompetensi kerakyatan
2. Kemampuan sosiopolitik
3. Kompetensi partisipatif (Suharto, 1997:215)
Menurut Parsons et. al., (1994:106), pemberdayaan sedikitnya mencakup tiga dimensi:
1.  Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang  lebih besar
2.  Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
3. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan.
PENDEKATAN PEMBERDAYAAN
Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:
1.  Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
2.  Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
3.  Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpatekanan.
4.  Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembagakesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.
5. Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
6.  Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.
7. Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
Pendekatan
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et. al., (1994:112-113) menyatakan, bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwaproses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan-satu. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat sajadilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro.
Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisisintervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Pendekatan Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

PENDAMPINGAN SOSIAL SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN
Dalam kaitannya dengan masyarakat miskin, kelima aspek pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui lima strategi pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219):
1. Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkin kanpotensi masyarakat miskin berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat miskin dari sekatsekat cultural dan struktural yang menghambat.
2. Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat miskin yang menunjang kemandirian mereka.
3. Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4. Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat miskin agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
5. Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

 Sumber ; Makalah/Subhilhar (Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Sumatera Utara)

0 komentar:

Posting Komentar